Bappeko Mojokerto Ajak KSM Sanimas Studi Sanitasi Ke Yogyakarta

Cepat atau lambat Sanimas model MCK Plus akan ditinggalkan oleh penggunanya.  Hal ini sangat disadari berdirinya bangunan Sanimas pertama kali datang sejak 2013 lalu hingga kini kondisinya jelas berbeda.

Pertama kali Sanimas dibangun mempunyai tujuan utamanya adalah merubah perilaku masyarakat dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat (BABS) berubah BAB ditempat yaitu tersedianya sarana MCK umum Plus berupa bangunan Sanimas.  Kota Mojokerto adalah kota yang pertama kalinya di Indonesia yang mendapatkan kesempatan pertama.  Benar adanya keberadaan sanimas sangat dibutuhkan saat itu, sehingga pelan tapi pasti setiap tahun sanimas terus digulirkan di Kota Mojokerto secara total dapat merubah perilaku masyarakat tidak ada lagi yang BABS.  Dalam catatan sanitasi lingkungan Kota Mojokerto saat itu yang BABS antara lain daerah Miji, Mentikan di sepanjang jln.

Brawijaya,Lingkungan Balongcok Kelurahan Balongsari, Kelurahan Kedundung dan masih banyak lainnya hingga ada penyebutan kali bokong saat itu.  Kehadiran sanimas  terbukti dapat merubah perilaku masyarakat dengan kata lain Kota Mojokerto dalam angka dapat dikatakan sebagai Kota Open Defecation Free (ODF).

Persoalan yang baru muncul kali ini adalah keberadaan Sanimas yang minim pengguna.  Berkurangnya pengguna ini dikarenakan beberapa factor antara  lain, ekonomi masyarakat sekitar lokasi meningkat seingga mampu membangun sarana BAB sediri di rumahnya.  Adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) yang masuk ke kampung-kampung dengan melaksanakan program jamban keluarga.  Khusus Sanimas yang dibangun dari dana DAK kurang tepat sasaran dikarenakan tempatnya jauh dari lokasi penduduk  sekitar.  Dengan kurangnya pengguna ini pemasukan untuk biaya operasional  menjadi berkurang bahkan tidak mencukupi untuk biaya bayar listrik dan honor operator.

Pada akhirnya sanimas yang dibangun dengan dana sekitar setengah milliard itu menjadi muspro alias jadi monomen belaka. Dari 23 lokasi  sanimas yang masih mampu mandiri adalah Sanimas Jaglor berseri Kelurahan Jagalan karena berdektan dengan pasar.  Sanimas Margoratan Kelurahan Kranggan berdekatan dengan pertokoan dan fasilitas umum termasuk penduduk sendiri masih potensial.  Sanimas Miji Berseri Kelurahan Miji masih digunakan oleh penduduk sekitar dan masih potensial.  Sanimas Nur Jayeng Kelurahan Prajuritkulon pengguna tidak banyak namun operator tidur di lokasi sanimas sehingga perawatan lebih intensif.

Oleh karena itu yang menjadi perhatian adalah bagaimana Sanimas yang sudah mulai ditinggalkan oleh penggunanya ini dapat kembali berfungsi lebih optimal.  Jika tidak  maka dapat menimbulkan gas metan dan pencemaran lingkungan.  Untuk itu hanya pihak pemerintah yang mampu mengambil kebijakan untuk mendesain ulang system MCK Plus menjadi MCK Komunal. Suka atau tidak cara ituah yang dapat ditempuh.  Dalam pemikiran itulah pihak pemerintah Kota Mojokerto melalui Badan Perencanaan Pembangnan Kota Mojokero (Bappeko) mengajak studi banding terhadap sarana sanitasi yang sudah berhasil di daerah Yogyakarta pada Rabu dan Kamis tanggal 23-24 April 2014. Rombongan berjumlah 50 orang terdiri dari Ketua KSM, perwakilan Kecamatan dan Kelurahan, dipimpin langsung oleh ketua Bappeko Mojokerto Herlistyati, SH, M.Si beserta pejabat Bappeko lainnya.

Menurut komandan Bappeko perempuan ini, tujuan studi banding ini adalah untuk melihat dari dekat keberhasilan KSM Minosehat Desa Minomatani Kec.Ngaglik Kabupaten Sleman Prov. Yogyakarta. Kemudian ditempat yang sama dilanjutkan melihat kineja KSM Sukunan desa Banyuraden Kecamatan Gamping.   Rombongan disambut oleh Ketua KSM dan Direktur Aksansi pusat serta pengurus lainnya. Dipilihnya lokasi ini kata Herlis, adalah terciptanya system pengelolaan terpadu antara KSM Sanitasi dan pengelolaan sampah padat.

Di kawasan ini tidak ada lagi yang menggunakan system MCK plus tetapi pengelolaan ipal komunal. Bukan itu saja inovasi yang dilakukan oleh KSM Minosehat dan Sukunan seperti yang dijelaskan oleh Setiadji Subekti ketua KSM Minosehat, dan Hariadi ketua KSM Sukunan bahwa, selain menghasilkan biogas, hasil pembuangan resapan yang masuk ke sungai dimanfaatkan untuk budidaya lele.  Setiap 1000 bibit lele bisa menghasilkan uang sebesar 300 ribu rupiah untuk jangka waktu 3 bulan untuk satu petak.  Kemudian inovasi lainnya adalah pembuatan kerajinan (handy craft) dari daur ulang sampah utamanya sampah kering.

Sementara itu Prasetyastuti, Direktur Aksansi Pusat menambahkan bahwa, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Mojokerto saat ini adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah daerah demi keberlanjutan Sanitasi.  Jujur dari sisi lain sudah banyak yang diadopsi oleh Pemda lainnya dari Pemkot Mojokerto.  Menurutnya, kondisi sanimas di Kota Mojokerto yang perlu perhatian ini sangat setuju sekali jika ada alih system yaitu MCK Komunal.  Sebab saat ini tidak mungkin masyarakat akan memilih BAB diluar rumah jika didalam rumah sudah tersedia.  Kedepan diharapkan dapat teranggarkan oleh Pemkot untuk segera menyelesaikan persoalan ini.

Komitmen dari Pemkot sendiri bukan hanya pada persoalan sanimas akan tetapi juga ada program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan sehari sebelum studi ke Joigja Harlis juga menfasilitasi kegiatan Forum Kota Sehat. (Riani)